NAMA : ACHMAD RAMDHON
NMP : 10411082
TUGAS 3 PENGANTAR MENEJEMEN DAN EKONOMI SOFTSKILL#
CERPEN(CERITA PENDEK)
"JANJI"
Ni sepenggal cerita yang kupunya, dari serpih-serpih masa
silam yang tersisa. Cerita tentang seorang lelaki bermata surya. Penuh
dengan muatan energi. Juga, nyalang dan kejam.Lelaki yang dengannya aku
pernah menghabiskan sepersepuluh dari usia yang telah dijatahkan Tuhan
untukku. Dan sepersepuluh waktu itu adalah impian tentang sarang lebah
yang menggantung ringkih di pohon tua, dengan kubangan hitam pekat di
sekeliling bawahnya.
Lelaki bermata surya itu bukanlah seorang pria tampan bak pangeran.
Toh, tak juga terlalu buruk rupa. Ia juga bukan belia pengobral kata.
Hanya seorang lelaki yang tak lagi muda, dengan beberapa gurat keriput
di wajahnya. Bibir tipis yang nyaris terkatup sepanjang hari. Sehingga
suaranya pun aku lupa seperti apa persisnya.
Yang bersemayam dalam ruang ingatanku
hanya cengkeraman tangannya. Cengkeraman yang kukuh, liar dan
menyakitkan. Cengkeraman yang begitu intim dengan lenganku dan
menyisakan beberapa lekukan, jejak hunjam kuku hitamnya. Serta beberapa
birat, yang dulunya mengalirkan darah segar. Darah yang kuperoleh dengan
susah payah dari sisa makanan yang disedekahkan tetangga.
Baiklah, kumulai saja ceritanya. Sebelum temaram yang menggantung di
mataku semakin pekat. Kisah hidupku dengan lelaki itu dimulai saat ibu
membawa pulang seseorang di suatu pagi yang cemerlang. Dan bayangan yang
menghalangi masuknya sinar matahari dari pintu itu ternyata milik
seorang lelaki yang dikenalkan ibu sebagai ayah.
Aku tak mengenalnya sama sekali. Aku asing dengan wajahnya, tubuhnya,
tatapannya bahkan untuk menyapanya, Ayah! Aku tak mengerti dan sedikit
tak mau tahu, apakah ia benar-benar ayahku atau seseorang yang dipungut
ibu entah dari rimba mana, untuk menjadi ayahku. Yang aku tahu, setelah
kehadirannya, aku memiliki seorang ayah. Satu figur yang tak pernah
kupunya, bahkan sejak saat pertama aku berkenalan dengan aroma dunia.
Sejak kehadiran ’ayah’ di rumah, ibu semakin tak punya waktu untukku.
Ia bahkan tak pernah lagi memandikanku. Menggosok tengkukku—tempat di
mana daki begitu cepat menutupi putih kulit asli—apalagi memijat kulit
kepalaku dengan minyak kemiri. Tak! Yang ada, ibu sibuk mengurusi ayah.
Makan ayah, pakaian ayah, air hangat untuk mandi ayah, serta menempeli
ayah sepanjang waktu ia berada di rumah.
Ibu juga tak peduli padaku, meski ia tahu ada yang berubah pada
tampilan fisikku. Aku mulai berlekuk. Sama seperti ibu! Aku juga mulai
ketiban ’tamu bulanan’. Yang pertama kali kutemukan saat mengganti
pakaian dalam sepulang sekolah. Yang kutatap dengan nanar dan ketakutan,
lalu menyurukkannya pada kolong lemari usang di sudut kamar. Cemas dan
panik yang memeluk seluruh benak, membuatku menarik selendang usang yang
tersampir di balik pintu. Punya ibu. Aku melipatnya tanpa pola.
Mengganti celana dalam lalu menyelipkan lipatan selendang di antara
selangkangan. Berbagai praduga mengisi benak. Menebak-nebak, benda apa
yang tadi mencederai organ keperempuananku?
Meski tanya itu tak pernah terjawab, meski ibu tak pernah menyadari
kehilangan beberapa selendangnya, meski darah terus mengalir selama enam
hari berturut-turut, toh setelah semuanya kembali normal tanyaku juga
hilang begitu saja. Dan bulan-bulan selanjutnya aku menjadi terbiasa.
Terbiasa mengambil kain apa saja, untuk mencegah darah mengalir. Setelah
terkumpul banyak, memberanikan diri untuk mencucinya di sungai kecil
beberapa kilometer di belakang rumah. Meski dengan gumpalan rasa jijik,
toh aku merasa terhibur dengan aliran darah yang mengalir dari kain-kain
basah, lalu menghilang dalam lumatan riak-riak sungai.
Tapi itu tak lama. Karena yang terjadi sesudahnya, tiga bulan
kemudian, jauh dari gapai duga yang kupunya. Tak terlintas sedikit pun.
Ibu pergi. Pergi di suatu pagi. Pergi meninggalkan banyak luka. Luka di
tubuhnya dan luka di hatiku. Ia juga meninggalkan banyak darah dan
tanya. Darah yang menciprat tak hanya di sekujur tubuh, juga di pematang
sawah, di baju ayah, di tangan dan tubuhku yang memeluk tubuh kakunya.
Banyak tanya yang tersisa. Namun diam ayah memenjarakan tanya itu di
palung hatiku.
Kami mengubur ibu di belakang rumah. Tak ada yang mengetahui kematian
ibu, selain kami, angin dan helai daun padi yang berayun di sekitar
jasad ibu. Aku kerap membeo kalimat ayah bila ada yang bertanya tentang
ibu. ”Ibu ke Malaysia, jadi TKW.” Dan dari sudut mata kulihat ia
tersenyum samar, puas dengan jawabanku. Lalu semua tanya menguap begitu
saja, raib bersama waktu yang berlari.
Setahun berlalu seperti angin. Ayah menghabiskan waktunya di rumah
dan sawah. Hanya itu. Ia tak pernah mampir di warung, berbincang seperti
kebanyakan lelaki penghuni kampung. Ia selalu pulang di jam yang sama.
Dan aku, penunggu rumah yang setia. Jauh melampaui anjing tetangga, yang
terkadang berlari kesana-kemari.
Sepeninggal ibu, kami lebih miskin dari sebelumnya. Makan hanya
sekadarnya. Lauk pauk adalah barang mewah yang bersemayam di ranah
impian. Tak terjangkau. Paling jauh, sepotong kecil ikan asin yang
disuguhkan tetangga bersama sepiring nasi hangat. Hadiah untukku yang
membantu menjaga balita mereka. Ayah memang menghabiskan waktunya di
sawah. Tapi setengah dari waktu itu dihabiskannya dengan duduk merenung
di pinggir pematang. Memandang kosong ke tempat di mana dulu ibu
terkapar bermandi darah!
Ayah sepertinya memang akrab dengan darah. Beberapa kali dalam
sebulan, Ayah selalu pulang dalam keadaan berdarah-darah. Kulitnya
berbarut-barut, seperti tergores senjata tajam. Toh, aku tak yakin ia
baru berkelahi dengan seseorang. Dan aku tak berani bertanya. Seperti
biasa. Aku hanya mencuci pakaiannya yang bernoda ke sungai kecil di
belakang rumah. Dan menikmati darah yang mengalir dari baju basah,
beringsut mencumbu beningnya air sungai yang mengalir. Entah kenapa aku
menikmatinya. Begitu seterusnya dan neraka itu mulai menunjukkan aromanya, beberapa bulan setelah
fenomena baju berdarah. Ayah kerap marah tanpa alasan. Ia kerap
mencengkeram lengan dan mendorong tubuh kurusku ke sudut ruang. Tatap
nyalangnya memerintahkanku untuk tetap di situ berjam-jam lamanya.
Menghitung detik dalam gelap, yang rasanya lebih panjang dari empat
purnama. Dan itu merupakan awal!
Ayah bukan lagi figur asing yang pertama kukenal. Ayah berubah
menjadi sosok tak terjamah kewarasan. Kehadirannya bukan saja mimpi
buruk tapi sebuah reinkarnasi makhluk tak berperadaban. Aku tak
mengenalinya. Sama sekali. Tak. aku ingat malam ketiga dalam hukuman, ketika bayangnya hadir di celah
sinar yang menyeruak kegelapan. Membawa pisau berkilau dan secangkir
minuman. Hatiku bergetar. Tubuhku menggeletar. Jiwaku tersirap
memikirkan apa yang akan dilakukannya dengan pisau di tangan. Akankah
aku bernasib sama dengan ibu? Akankah aku mati sebelum menikmati cinta
pertama, surga dunia masa remaja yang kucuri dengar dari pembicaraan
gadis-gadis di sungai belakang rumah?
Namun, sepertinya ketakutanku terlalu hitam. Lelaki itu menyodorkan
cangkir di tangannya. Tanpa bicara. Hanya dagunya bergerak sekadarnya,
menyuruhku minum. Meski ragu, dahaga lebih dulu mengambil keputusan.
Mengalahkan bayang-bayang menyeramkan. Begitu gelas kosong kuletakkan di
lantai, ia bergerak membantuku berdiri. Memapah ke ruang tengah. Meja
kayu tua satu-satunya yang ada di ruangan itu telah dipenuhi dengan
sepiring nasi berteman telur mata sapi yang kuningnya tak bulat lagi.
Hmm.., jadi ini bau yang tadi menggugah lelap gelisahku di ruang gelap.
”Makanlah. Hanya ini yang ada..” ujarnya seraya mendekatkan tubuhku
ke meja dan meninggalkanku begitu saja. Ia menghilang di balik pintu
kamar.
Dengan ragu dan berkali-kali menoleh ke pintu kamar yang tertutup
sepertiga, aku mengulurkan tangan. Mencoba menjamah nasi yang telah tiga
hari tak kunikmati. Tersendat-sendat suap demi suap mengalir di
kerongkongan, memenuhi organ pencernaan.
”Sudah?” Aku nyaris terjengkang dari duduk ketika mendengar suara hangat di belakangku. Astaga?! Aku mengangguk gentar.
”Kalau begitu, tolong pijat sebentar, ya? Ayah lelah.” Aku kembali
mengangguk. Tak punya pilihan. Aku mengekori langkahnya menuju kamar
depan, ruang yang penuh debu, sarang laba-laba dan seperangkat perabot
usang.
Aku mulai memijat kakinya. Naik ke punggung dan akhirnya kepala. Aku
melihat lelaki itu memejamkan mata. Hmm, mungkin ia telah terbang ke
alam mimpi, pikirku. Sayangnya tak demikian setelah beberapa saat aku
menikmati keras lekuk wajahnya. Mencoba mengenalinya dari jarak yang
nyaris tak pernah ada. Ia membuka mata. Tepat menghunjam ke wajahku. Ia
menatapku dalam diam, tajam dan menyulut dingin ke sekujur tubuhku. Aku
bergidik samar.
”Kau tahu? Kau bukan anakku.” Aku mengangguk.
”Kau tahu? Kau bukan apa-apaku?” Lagi-lagi aku mengangguk.
”Kau tahu? Kenapa aku tetap bersamamu?” Kali ini aku menggeleng, bimbang sesaat.
”Karena ibumu telah menitipkanmu di ambang ajalnya. Dan ia pun telah menitipkan sebuah janji untukku.” Aku terdiam.
”Setahun aku menunggu. Dan kau tahu apa artinya? Itu lebih dari siksa
neraka! Lebih dari kiamat! Tapi aku sudah berjanji. Dan sekarang,
saatnya aku menepati janjiku pada ibumu.” Aku menatapnya tak mengerti.
Namun, sebuah jejak samar dari gerak tubuhnya kemudian menyadarkanku.
Membalutku dalam dingin dan geletar tak berkesudahan. Meski sepasang
tangan dan sebidang kehangatan mengungkungku dalam kecepatan dan
keliaran. Merobek segalanya. Harapan, tangis dan masa depan. Dan dalam
erang dan kesakitan aku menghapus nama Tuhan dalam ruang ingatan!
Waktu tak sekadar berlalu bagai angin namun waktu juga tak
meninggalkan bekas pada kehadiranku. Aku hanya mampu mencerna darah
berbeda yang kucuci di sungai belakang rumah. Aku hanya mampu membelai
hunjam kuku yang menghitam di lenganku. Dan aku hanya mampu menekuri
bayang ibu yang tersisa dalam kubangan dangkal di pematang sawah.
Selebihnya, tak!
Kau tahu apa artinya darah bagi seorang anak perempuan? Khususnya
darah yang mengalir dari organ kewanitaan selama tujuh hari berturut?
Itulah pertanda tapak kedewasaan yang tengah diretasnya. Kedewasaan
menyikapi hidup dan sekitar. Termasuk kedewasaan menyimak makna darah
itu sendiri. Dan kubungkus itu semua di palung hati terdalam.
Tersembunyi dalam kegelapan.
Purnama. Dan berahi menemukan tambatannya. Aku lunglai di bingkai
jendela. Membiarkan lelaki di belakangku mengemasi pakaiannya dan
beringsut meninggalkan kamar. Aku terus mengulum amarah, melumatnya
perlahan-lahan. Mengendapkannya pada jejalan catatan buram di sudut
ruang.
Aku menghitung detik. Menunggu pintu berderit dan langkah-langkah
menjauh dari jangkauan pendengaran. Rasanya sangat menyiksa. Jauh
melampaui malam-malam penuh erang kesakitan. Sekejap sepi mengurungku.
Tak ada suara apa-apa, kecuali teriakan tokek yang sesekali memecah
hening. Aku beranjak keluar dan berdiri tepat di ambang pintu, mencoba
melihat dalam gelap samar-samar. Kuhirup udara dalam-dalam dan memenuhi
rongga yang ada di sekujur tubuh. Perlahan mulai mengeja, seiring lambat
langkah menembus hitamnya malam yang berpendar secercah cahaya purnama.
Pagi terang-benderang. Tapi itu justru menyulitkan untukku melihat
dan bernapas. Kepalaku masih terasa sakit. Juga tubuh. Kupegangi kepala
yang terasa lembab. Sedikit memicing untuk memastikan cairan apa yang
telah mengeramasi kepala. Merah. Aku menangkap warna itu dengan hati
menggigil. Hidungku membaui amis. Darah. Hei.., dimana aku? Kepalaku
benar-benar sakit. Bahkan untuk mengangkat tubuh pun sudah tak mampu.
Mataku mengerjap-ngerjap, mencoba mengenali sekitar. Sejauh mata
memandang hanya batang padi yang kulihat, dengan bulir-bulir buahnya
yang tertimpa surya bagai keping emas. Menyilaukan. Tempatku terkapar
menyerupai ceruk dangkal.
Aku mencoba mengingat. Apa yang terjadi? Namun sepertinya itu menjadi
pe-er yang rumit. Karena aku tak bisa mengingat apa yang membuatku
berada di tempat ini. Tempat di mana aku pernah memeluk ibu dalam
kubangan darah. Susah payah kucoba untuk duduk. Tak mudah. Karena sakit
di sekujur tubuh telah menghunjam tulang dan urat kesadaran. Namun itu
tak seberapa. Karena pemandangan seorang lelaki yang tertelungkup di
sawah membuatku tersengat. Sebilah belati menghunjam punggungnya, tempat
dimana darah mengucur. Deras dan tak terbendung. Mengalir hingga ke
genangan air di sawah. Namun tak seperti di sungai belakang rumah, darah
itu menggenang lama di sana. Dan tak berganti warna.
Aku menggumam perlahan, Ibu, aku telah menepati janji. Janji saat
memelukmu terakhir, di sini.. Dan kulepas senyum terakhir untuk pagi.
Pagi yang telah lama tak kunikmati..